EnergiToday -- Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (15/4) kembali menyidangkan perkara dugaan
korupsi bioremediasi fiktif dengan terdakwa Direktur PT Sumigita Jaya – SGJ,
Herland Bin Ompo. Dalam persidangan kali ini terdakwa menghadirkan saksi a
de charge – saksi yang meringankan, yaitu ahli hukum pidana, Edward Omar
Syarif Hiareij yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Atas
pertanyaan Penasehat Hukum kepada ahli yang menanyakan apa yang dimaksud dengan
perbuatan pidana, Edward yang biasa dipanggil dengan Edy menjelaskan perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang dan ada ancaman bagi
siapa yang melakukan perbuatan tersebut.
Edy
juga menjelaskan tentang perbuatan yang dilarang tersebut. Perbuatan pidana
dasarnya adalah asas legalitas. Di dalam asas legalitas meliputi empat syarat.
Pertama, ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut, kedua ketentuan pidana
harus tertulis, ketiga ketentuan pidana harus jelas, keempat ketentuan pidana
harus ditafsirkan secara ketat, artinya tidak dibenarkan melakukan analog.
Penasehat
Hukum juga menanyakan kepada ahli terkait apabila suatu peristiwa dianggap
melanggar suatu ketentuan hukum pidana, apakah serta merta peristiwa tersebut
dapat dianggap sebagai peristiwa pidana. Edy mengatakan, bahwa dalam konteks
hukum pidana Indonesia yang merupakan anak kandung dari hukum pidana belanda
ada dua asas yang melekat ibarat dua sisi dari satu mata uang logam. Pertama
adalah asas legalitas, mengenai perbuatan pidana, kedua adalah culpabilitas yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana.
Dimana,
seseorang yang melakukan perbuatan pidana, belum tentu dipidana tergantung
apakah dapat dimintakan pertanggungjawaban ataukah tidak. Tetapi, seseorang
yang dijatuhi pidana sudah pasti melakukan perbuatan pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.
Edy
juga menjelaskan, syarat seseorang dikatakan dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana harus memenuhi tiga elemen. Elemen pertama adalah, kemampuan
bertanggungjawab, elemen kedua ada hubungan antara pelaku dengan perbuatan yang
dilakukan menghasilkan bentuk kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan, dan
ketiga tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana.
Terkait
dengan dakwaan yang ada dalam perkara ini, pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun
1999 Edy mengatakan, kalau merujuk konteks pasal tersebut, kepentingan yang
hendak dilindungi oleh pembentuk Undang-Undang adalah yang berkaitan dengan
keuangan negara atau perekonomian negara.Lebih jauh Penasehat Hukum juga
menanyakan kepada ahli, dalam hal kepentingan keuangan negara dimaksud, telah
diatur perlindungannya dalam suatu perjanjian atau kontrak, apakah ketentuan
pidana dimaksud dapat sertamerta diterapkan. Edy mengatakan, bahwa kontrak atau
perjanjian berdasarkan pasal 1338 mengikat bagi para pihak ibarat
undang-undang atau yang dikenal sebagai asas Pacta Sunt Servanda. Jika
terjadi wanprestasi, maka itu masuk dalam ranah hukum perdata.
Hukum
pidana sebagai hukum publik bisa masuk ke dalam ranah hukum perdata jika ada
itikad buruk, ada dolus malus atau niat jahat dalam pelaksanaan kontrak
tersebut. Namun, harus diingat bahwa untuk menyatakan ada dolus malus
harus diukur dalam konteks hukum pidana. Artinya selama perjanjian itu
berjalan, tidak ada pelanggaran terhadap perjanjian tersebut, maka itu masih
berada dalam ranah hukum perdata.
Edy
juga menjelaskan, hukum pidana berfungsi sebagai Ultimum Remedium.
Artinya adalah, hukum pidana merupakan sarana yang paling akhir digunakan ,
jika instrumen penegakan hukum lainnya tidak lagi berfungsi. Itu
interpretasi historis lahirnya hukum pidana.
Terkait
hal tersebut, apabila telah terdapat dugaan adanya kerugian negara, apakah
serta merta dapat dianggap adanya dugaan tindak pidana korupsi, Edy mengatakan
bahwa hal itu tidak serta merta. Kerugian negara bisa disebabkan oleh perbuatan
administrasi, bisa disebabkan oleh perbuatan perdata, bisa disebabkan oleh
suatu tindak pidana, bahkan kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh
tindak pidana, tidak secara Mutatis Mutandis bahwa itu adalah tindak pidana
korupsi.
Lebih lanjut Edy
menjelaskan mengapa demikan, di dalam hukum pidana, memenuhi unsur delik tetapi
tidak dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Sebagai ilustrasi, ada sebuah
mobil Bank Indonesia membawa uang Rp 1 triliun,kemudian dicegat oleh dua orang
dan uang diambil. Apakah ini merugikan keuangan negara, betul merugikan
keuangan negara. Apakah dua orang ini melakukan perbuatan melawan hukum, jelas.
Apakah mereka memperkaya diri sendiri, ya. "Tapi apakah mereka melakukan
korupsi? Tidak," kata Edy. (wis)ihentikan?"ujarnya.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) melepaskan Nani Permadhi dan Yuri Puji Listiyani karena terbukti tidak melakukan tindak pidana penipuan. Sengketa tali pusar anak Julita Indrawadi di Singapura yang dilaporkan hilang murni kasus perdata.
"Memutuskan, mengadili, perbuatan kedua terdakwa bukan merupakan tindak pidana. Maka persengketa itu sebaiknya diselesaikan dengan mediasi di Singapura. Jika tidak bisa diselesaikan dengan mediasi, maka diajukan ke persidangan di Singapura," putus ketua majelis hakim Kasianus Telaumbanua dalam sidang terbuka untuk umum di PN Jakpus, Jl Gadja Mada, Selasa (1/10/2013).
PT Krista Medika menawarkan jasa penyimpanan sel tali pusar kepada Julita pada 2006 silam. Mereka bekerjasama dengan StemCord LTD yang berkedudukan di Singapura. Duduk selaku Dewan Komisaris PT Krista Medika Nani dan Komisaris PT Krista Medika Yuri.
Tahun 2010, saat Julita akan mengambil tali pusarnya, ternyata terjadi masalah. Julita kemudian membawa kasus ini ke jalur hukum. Setelah melalui proses pengadilan, ternyata dugaan Julita tidak terbukti.
"Tidak dilakukan penahanan karena bukan merupakan pidana dan kedua terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum," ujar Kasianus.
PN Jakpus dalam putusannya juga mengembalikan hak dalam kedudukan dan martabatnya seperti semula. Sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) menuntut kedua terdakwa 2 tahun penjara karena tindak pidana penipuan.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) melepaskan Nani Permadhi dan Yuri Puji Listiyani karena terbukti tidak melakukan tindak pidana penipuan. Sengketa tali pusar anak Julita Indrawadi di Singapura yang dilaporkan hilang murni kasus perdata.
"Memutuskan, mengadili, perbuatan kedua terdakwa bukan merupakan tindak pidana. Maka persengketa itu sebaiknya diselesaikan dengan mediasi di Singapura. Jika tidak bisa diselesaikan dengan mediasi, maka diajukan ke persidangan di Singapura," putus ketua majelis hakim Kasianus Telaumbanua dalam sidang terbuka untuk umum di PN Jakpus, Jl Gadja Mada, Selasa (1/10/2013).
PT Krista Medika menawarkan jasa penyimpanan sel tali pusar kepada Julita pada 2006 silam. Mereka bekerjasama dengan StemCord LTD yang berkedudukan di Singapura. Duduk selaku Dewan Komisaris PT Krista Medika Nani dan Komisaris PT Krista Medika Yuri.
Tahun 2010, saat Julita akan mengambil tali pusarnya, ternyata terjadi masalah. Julita kemudian membawa kasus ini ke jalur hukum. Setelah melalui proses pengadilan, ternyata dugaan Julita tidak terbukti.
"Tidak dilakukan penahanan karena bukan merupakan pidana dan kedua terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum," ujar Kasianus.
PN Jakpus dalam putusannya juga mengembalikan hak dalam kedudukan dan martabatnya seperti semula. Sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) menuntut kedua terdakwa 2 tahun penjara karena tindak pidana penipuan.
Selama persidangan, kedua terdakwa beberapa kali menganggukkan kepala dan sesekali tersenyum. Usai vonis, keduanya langsung menyalami hakim dan meninggalkan ruang sidang.
Atas vonis ini, pengacara Julita, Gabriel Goa, keberatan. Goa sangat mendukung jika pihak jaksa ingin mengajukan upaya hukum lain terhadap putusan ini.
"Kalau ini kasus perdata mengapa saat dilaporkan ke Polda tidak dihentikan?" ujarnya.
Tim
penyidik kasus Rawa Tripa menggunakan jalur hukum
Kabupaten
Nagan Raya, Aceh itu. Ini diharapkan menjadi contoh penanganan hukum atas
kasus-kasus lingkungan.
"Kami
(Kementerian Lingkungan Hidup) maju secara pidana dan perdata.
Pertanggungjawaban bisa ke orangnya, korporat, atau keduanya. Nanti dilihat di
pemberkasannya bagaimana," ucap Sudariyono, Deputi Penaatan Hukum
Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat (18/5/2012), dihubungi dari
Jakarta.
Ia
mengatakan, kasus ini selesai disidik di lapangan pada pekan lalu oleh tim
penyidik gabungan KLH, Polri, dan kejaksaan. Kini sedang dalam pemberkasan dan
persiapan pemeriksaaan saksi-saksi.
Kasus
Rawa Tripa muncul setelah Wahana Lingkungan Hidup dan beberapa LSM di Aceh
menggugat Gubernur Aceh karena menerbitkan izin perluasan 1.605 hektar di areal
Kawasan Ekosistem Leuser. Gugatan di PTUN Banda Aceh itu ditolak majelis hakim.
Kejanggalan
pemberian izin ini kemudian tercium oleh Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang juga Satgas Persiapan Kelembagaan
REDD+.
Kepala
UKP4 Kuntoro Mangkusubroto merekomendasikan agar penyidik Kementerian
Lingkungan Hidup, Polri, dan kejaksaan menangani kasus ini.
Sudariyono
mengatakan, secara pidana aksi perusahaan (PT Kalista Alam dan Surya Panens
Subur 20) melakukan pembakaran dan pembukaan lahan melanggar UU Nomor 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara perdata, hal ini
merugikan karena menimbulkan kerusakan lingkungan.
Padang,
Padek—Kasus pidana ringan dengan
terdakwa Yurnalis, 63, yang disidangkan di Pengadilan Negeri Padang Kamis,
(14/7), dikembalikan lagi oleh Majelis Hakim disebabkan perkara itu masuk ke
ranah hukum perdata.
”Kasus ini
bukanlah tindak pidana, tapi perdata. Sementara pihak kepolisian melimpahkan
kasus ini dengan UU Pidana. Maka saya putuskan memvonis kasus ini dengan
mengembalikan ke Polresta,” ungkap Hakim Astmiwati, kemarin.
Perkara itu
berawal ketika Yurnalis yang mengaku pemilik rumah dilaporkan menantunya,
Yufrizal, 43 serta anaknya Susi Julianti, 37, ke Polresta Padang. Perkara ini
mulai disidangkan Kamis (14/7) kemarin di PN Padang.
Perkara itu
akhirnya ditolak hakim setelah mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak
yang memperkarakan rumah. Setelah mendengarkan keterangan itu, Hakim Astmiwati,
langsung memutuskan sidang tindak pidana ringan tersebut untuk dikembalikan
lagi ke Polresta Padang.
Dalam
keterangannya di hadapan sidang, Yurnalis mengaku rumah yang terletak di
Perumahan Lubuk Gading IV Blok B Nomor 30 RT 01 RW XV, Kelurahan Lubukbuaya,
Kecamatan Kototangah itu adalah rumah miliknya, karena merasa telah melunasi
angsuran rumah itu sejak tahun 1998 lalu. “Angsuran rumah ke BTN yang saya
bayarkan sebesar Rp62 ribu perbulan,” sebut Yurnalis.Dia juga mengakui rumah
itu ia sendiri yang mensertifikatkan rumah tersebut atas nama Yufrizal, karena
diketahui ketika itu dia tidak memiliki pekerjaan tetap.
”Saya juga yang membayar uang muka rumah sebesar
Rp6 juta pada tahun 1998. Uang itu saya serahkan ke anak saya,” jelas
terdakwa.Namun hal berbeda malah dilontarkan Yusrizal didepan sidang. Dia
membantah keterangan yang disampaikan mertuanya dan mengaku dialah yang
membayar uang cicilan rumah hingga lunas.
bagaimana cara mengetahui kalau kasus tersebut merupakan kasus tindak pidana atau kasus tindak perdata
BalasHapus